Benarkah Artis Sinetron Dibayar Mahal untuk Merusak Akhlak Bangsa?

Benarkah Artis Sinetron Dibayar Mahal untuk Merusak Akhlak Bangsa?

Benarkah Artis Sinetron Dibayar Mahal untuk Merusak Akhlak Bangsa?

Entah apa yang salah dalam pembentukan karakter di Negeri ini. Banyak kalangan mengeluhkan perkembangan anak-anak mereka yang semakin tidak tahu adab sopan santun dan aturan apalgi norma-norma agama.

Seorang pendidik pun, mengeluh "esuk2 mulang bocah, mbengi2 bocah ganti di didik neng sinetron tv, kon pada balapan, pada gelut pada pacaran. Jan ora nana regane dadi guru, pengin tek banting tv ne, tapi eman2 mbok ora bisa tuku maning"....tulis pengguna Facebook yang bernama Isti Ulfaiyah.

Lalu muncul meme "Guru dibayar murah dituntut untuk perbaiki karakter dan akhlak anak-anak, Sedangkan artis Sinetron dibayar mahal untuki merusak akhlak anak-anak"

Lalu apa yang harus Anda lakukan untuk melindungi buah ahti Anda? Atau cenderung mboh ora weruh alias cuek saja? Terserah Anda, masa depan Anak Anda di Tangan Anda?

Herri Mulyono Penulis Kompasiana pun menulis dengan judul "Artis, Guru dan Ironi Pendidikan Karakter"
"Guru dibayar murah dituntut untuk memperbaiki karakter anak-anak kita, sedangkan artis sinetron dibayar mahal untuk merusak akhlak anak-anak kita."

Kutipan diatas saya ambil dari screenshot yang seringkali beredar di lini media sosial. Kita sudah sangat maklum (?) tentang mutu tanyangan sinetron-sinetron dan program TV kita, yang bukan hanya "menjual mimpi" seperti dikatakan oleh Ibu Megawati beberapa tahun silam, tetapi juga benar-benar merusak karakter-karakter anak-anak kita dengan segala sajian yang tidak mendidik.

Kita dapat melihat bagaimana tanyangan-tanyangan sinetron mengajarkan kekerasan, kehidupan glamor, perilaku seksual dan lain-lainnya. Sayangnya, seolah teguran KPI terhadap sinetron-sinetron dan beberapa program hiburan di TV tidak mendidik tersebut tidak berdampak apa-apa.

Sinetron dan tanyangan-tayangan tersebut masih saja tampil dilayar TV, tentunya dengan embel-embel telah dilakukan perbaikan. Ya karena memang, rating TV menjadi alasan kuat kehadiran tayangan-tayangan TV tidak mendidik tersebut. Kita pun dibuat malu, ternyata, dibalik gencar-gencarnya kritik terhadap tayangan TV, sebagian banyak dari kita merupakan 'pendukung' (penikmat) setia tayangan tersebut. Hal ini tentunya dibuktikan oleh tingginya rating acara tersebut (walau kita sendiri tidak pernah mendapatkan informasi tentang rating TV itu seperti apa, bagaimana dilakukan dll).

Akhirnya jelaslah mengapa KPI seolah kurang 'bertaring' terhadap tayangan TV tersebut. Hal yang cukup ironi ternyata datang dari komunitas pendidikan di sekolah. Seperti pada kutipan diatas, guru dan komunitas pendidikan disekolah yang notabene pro-kemajuan dan terdidik diharapkan menjadi benteng utama dari arus tayangan-tayangan TV yang tidak mendidik.

Namun, kondisi yang diharapkan pun tidak terjadi. Kita sangat miris ketika kemudian di sekolah pun beberapa tayangan-tayangan sinetron dan acara hiburan tidak mendidik tampil di ruang guru, ruang perpustakan, ruang TU dari TV-TV yang tertempel didinding itu.

Miris sekali. Bahkan, yang sangat benteng pertahanan terhadap acara tak mendidik yang kerap tampil di TV pun seolah-oleh luluh lantah. Entah berapa kali saya menjadi saksi bisu bagaimana even-even joged-joged tak berkelas yang tampil di TV hadir di halaman sekolah.

Terlihat jelas, bagaimana sang artis berjoged ria dengan siswa-siswi, dan tidak jarang juga dengan bapak ibu guru. Tidak ada yang salah dengan menari, bernyanyi ataupun bentuk hiburan lainnya. Namun, sungguh sangat ironi bila artis-artis yang 'merusak moral' anak-anak bangsa bermesra ria dengan guru-guru dan siswa yang notabene para pejuang pendidikan.

Apalagi kemudian mereka dengan bangga meng-upload foto-foto selfie dengan sang artis 'perusak moral' itu di media sosial. Seharusnya, komitmen untuk mewujudkan tanyangan yang sehat, menghibur dan mendidik harus di tegakkan, dan selayaknya juga artis-artis yang tidak berkomitmen untuk mewujudkan tayangan sehat, menghibur dan mendidik mendapatkan hukuman moral: tolak kehadiran mereka.

Bukan diterima dengan 'antusias' di halaman dan ruang-ruang kelas, dan bukan pula menerima ajakan mereka untuk datang menjadi penggembira di stasiun TV demi nasi bungkus dan iming-iming sejumlah uang. Bila guru dan siswa tidak juga menolak kehadiran acara-acara serta artis-artis yang dinilai telah merusak akhlak anak-anak kita, sungguh ironi pendidikan karakter kita.


Sumber



No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

Back To Top